Marshmallow, Obati Galau??

Galau? Bingung bagaimana meningkatkan mood yang lagi kacau? Ini dia salah satu produk confectionary yang dapat mengobati rasa kegalauan.Marshmallow. Sekarang-sekarang ini, galau menjadi trending topic disetiap perbincangan.

Galeri IPP 2011

Industrialisasi Pangan Pedesaan 2011

Review: Industrialisasi Pangan Pedesaan 2011

JURUSAN Teknologi Industri Pangan mengadakan acara yang bernama Industrialisasi Pangan Pedesaan(IPP). Acara IPP yang diketuai oleh Adam Kuncoro Prakoso ini bertujuan untuk terciptanya masyarakat yang mandiri dengan usahanya yang dilandasi inovasi dan strategi pasar yang baik dan tepat.

Kakao dan Coklat

Narasumber: Rossi Indiarto, STP., MP. Indonesia merupakan produsen nomer 3 penghasil biji kakao setelah Pantai Gading dan Ghana, yang sebagian besar terdapat di Sulawesi. Menurut Rossi, prospek confectionary di Indonesia sangat bagus sekali khususnya kakao.

Report ISO 22000:2005

Pada tanggal 12-13 November 2011 bertempat di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, Himpunan Teknologi Industri Pangan mengadakan training untuk para mahasiswa untuk lebih siap di dunia kerjanya nanti.

Rabu, Mei 12, 2010

Tata Kelola Pangan Global

Menurut catatan PBB, pada saat ini tidak kurang dari 5 juta jiwa baru lahir ke dunia tiap 10 hari, dan diperkirakan pada 2050 jumlah penghuni bumi mencapai 9,2 milyar jiwa. Dari segi pangan, dengan mudah dapat dibayangkan betapa besarnya kebutuhan dunia untuk menyediakan bahan pangan yang tidak saja jumlahnya mencukupi, melainkan juga memenuhi standar nutrisi.

Pada 16 Oktober lalu, dunia internasional memperingati Hari Pangan Sedunia (World Food Day) yang ke-30, dengan tema ‘’Mencapai ketahanan pangan di masa krisis’’. Tema yang dengan lugas berkata, ‘’Kita masih dalam krisis!’’ Masih segar dalam ingatan, betapa lonjakan harga pangan 2007/2008 yang dipicu kenaikan harga minyak bumi membawa akibat langsung melonjaknya jumlah penduduk miskin absolut di dunia sebanyak 130-150 juta jiwa. Meskipun harga pangan global sudah turun dari puncaknya pada awal 2008, secara relatif, hingga paruh pertama 2009, harga pangan masih lebih tinggi daripada harga tahun 2005-2006. Selain itu, fluktuasinya pun masih sangat tinggi.

Organisasi pangan PBB, FAO, mencatat bahwa situasi kelaparan dan kemiskinan pedesaan cenderung meningkat, terutama di wilayah Afrika Sub-Sahara serta negara kawasan Amerika Latin dan Asia yang berpendapatan rendah. Pada Juni 2009 terdapat lebih dari 1 milyar penduduk kelaparan (naik sekitar 100 juta dari tahun lalu), 642 juta di antaranya tinggal di wilayah Asia dan Pasifik, dan tidak kurang dari 31 negara mengalami keadaan darurat pangan.

Perlu dicermati bahwa krisis pangan global ini tidak terjadi dalam isolasi, melainkan terkait dengan krisis energi dan krisis finansial, sehingga sering disebut triple Fs (food, fuel, financial). Akibatnya, negara maju lebih memprioritaskan anggarannya untuk biaya stimulus ekonomi masing-masing, sehingga mengurangi dana bagi pinjaman dan bantuan untuk negara berkembang.

Situasi itu menjadi lebih dramatis jika dikaitkan dengan persoalan semakin ‘’ringkihnya’’ daya dukung alam bagi tanaman akibat perubahan iklim. Kemajuan teknologi pun menyebabkan terjadinya saling ‘’tarik’’ antara kebutuhan akan sumber energi dengan lahan dan bahan pangan.

Meski selama dua tahun terakhir Indonesia berhasil berswasembada pangan (beras), bahkan surplus sekitar 3 juta ton, bukan berarti kita terbebas dari berbagai tantangan seperti tersebut di atas. Upaya menjaga kelangsungan ketahanan pangan Indonesia kini juga menghadapi tantangan permasalahan pembangunan nasional yang kompleks, khususnya terkait bidang pertanian, pangan, dan pembangunan pedesaan.

Sebagai refleksi Hari Pangan Sedunia itu, dan dalam rangka menyambut KTT Pangan di Roma, November mendatang, kiranya perlu bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan nasional untuk menyegarkan kembali diskursus publik mengenai tantangan dan peluang bagi Indonesia dalam mempertahankan swasembada pangan dalam konteks krisis pangan global serta tata kelola global dalam upaya penanganan krisis pangan dan bidang ketahanan pangan.

Tata Kelola Global

Sejumlah upaya internasional untuk mengatasi pangan sudah banyak dilakukan, dari pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Tingkat Tinggi PBB (April 2008), Pertemuan Tingkat Tinggi Ketahanan Pangan (Juni 2008), hingga KTT G-8 di L’Aquila dan KTT G-20 di Pittsburgh yang baru lalu. Upaya internasional tidak hanya menghasilkan langkah-langkah jangka pendek, melainkan juga strategi jangka panjang dan kemitraan global serta komitmen pendanaan untuk investasi di sektor pertanian. Benang merah serangkaian pertemuan tersebut adalah bahwa isu pertanian dan ketahanan pangan telah menjadi isu politik tingkat tinggi dan perhatian para pemimpin dunia.

Di L’Aquila, para pemimpin negara anggota G-8 mendeklarasikan kesepakatan untuk menyediakan dana US$ 22 milyar bagi upaya peningkatan ketahanan pangan dan penghapusan kelaparan dunia. Pertanyaannya: sejauh mana masyarakat internasional dapat mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan itu? Tidak kalah pentingnya: sejauh mana pemenuhan komitmen pendanaan tersebut serta bagaimana menjamin penyaluran yang tepat sasaran, efektif, dan efisien?

Pemangku utama kerja sama internasional di bidang pangan dan pertanian adalah tiga badan PBB (FAO, IFAD, dan WFP) di Roma. FAO merupakan forum yang netral bagi negosiasi dan policy debate, sumber pengetahuan dan informasi, serta bantuan teknis. IFAD memfokuskan programnya melalui pendanaan sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Sedangkan WFP menekankan aktivitasnya pada bantuan-bantuan pangan darurat.

Tantangan bagi ketiganya: bagaimana mengharmoniskan program satu sama lain sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai tata kelola global pangan melalui koordinasi, komplementaritas, serta keterpaduan yang efektif dan efisien. Selain itu, ketiganya juga dituntut untuk meningkatkan kemampuan koordinasi dan sinergi dengan lembaga-lembaga internasional yang menangani isu global lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, perubahan iklim, kependudukan, dan perdagangan.

Tantangan dan Peluang bagi Indonesia

Bagi bangsa Indonesia, ketahanan pangan merupakan komponen penting ketahanan nasional untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, layak, aman, dan terjangkau. Sebagaimana vitalnya pembangunan demokrasi sebagai pilar NKRI, keberhasilan mempertahankan serta memperkuat ketahanan pangan memerlukan peran dan kerja keras segenap elemen bangsa.

Gambar Artikel Mohamad Oemar Gatra

Kita boleh bangga karena selama dua tahun terakhir berhasil berswasembada pangan (beras). Namun perlu upaya keras bangsa ini dalam menjawab sejumlah tantangan untuk mempertahankan ketahanan pangan domestik.

Pertama, tantangan dalam menjaga dan meningkatkan kemampuan produksi bahan pangan domestik sesuai dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Kedua, tantangan dalam meningkatkan dukungan infrastruktur, efisiensi distribusi, dan kebijakan pendukungnya.

Ketiga, tantangan geografis Indonesia yang rawan bencana alam dan dampak perubahan iklim. Keempat, risiko tinggi ketergantungan pangan utama pada beras. Bayangkan, apa konsekuensinya bila terjadi kegagalan pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebagai akibat, misalnya, ledakan penduduk atau bencana alam.

Di tingkat internasional, profil diplomasi pangan RI makin kuat, terutama berkat prestasi berswasembada pangan di tengah situasi krisis global multidimensi. Dalam forum PBB, sebagai upaya dorongan politis bagi pembentukan konsensus terhadap norma internasional yang lebih berpihak pada keadaan dan tuntutan sektor pertanian, khususnya di negara-negara berkembang, Indonesia bersama Mesir dan Cile telah memelopori resolusi mengenai agriculture, development and food security pada sidang ke-63 Majelis Umum PBB.

Di kalangan negara-negara Selatan, Indonesia adalah tutor bahkan donor dalam pengembangan kapasitas pembangunan pertanian dan pangan. Dalam perundingan “Putaran Doha’’ di WTO, misalnya, Indonesia menjadi inisiator dan koordinator G-33 yang memperjuangkan agar liberalisasi pertanian tidak saja menghapus berbagai kebijakan negara maju yang proteksionis dan subsidi yang mendistorsi pasar, melainkan juga tidak memperlemah kemampuan membangun ketahanan pangan.

Sementara itu, di antara negara-negara Utara, partisipasi Indonesia dalam proses pembahasan L’Aquila Joint Statement on Global Food Security (KTT G-8 di L’Aquila) menunjukkan semakin besarnya kepercayaan terhadap kredibilitas Indonesia dalam upaya mencari solusi atas masalah pangan global. Namun, sekali lagi, menjaga profil diplomasi pangan RI menuntut kemampuan kita dalam menjaga kesinambungan dan memperkuat ketahanan pangan nasional.

Dalam konteks krisis pangan dan konstelasi tata kelola pangan global dewasa ini, terbuka peluang bagi Indonesia untuk menjawab sejumlah tantangan domestik yang bersinergi dengan upaya diplomasi. Apabila kita sepakat bahwa isu ketahanan pangan terkait dengan berbagai isu lainnya, dan aspek-aspek internasional berjalin-berkelindan dengan masalah domestik, tidak ada pilihan selain memperbaiki kondisi dua tataran tersebut demi manfaat bersama.

Kita perlu lebih aktif memanfaatkan peluang kerja sama internasional dan keanggotaan RI di berbagai forum global, khususnya FAO, IFAD, dan WFP, bagi kepentingan nasional, sekaligus mendorong upaya internasional memperkuat tata kelola global agar secara efektif dapat mewujudkan cita-cita bersama, yaitu food security for all. Ibarat pepatah, “sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui’’, dengan modal keberhasilan berswasembada pangan, kita perkuat peran dalam menciptakan an enabling international environment, tidak hanya untuk membentuk tata kelola dunia yang kondusif bagi kerja sama pangan, melainkan juga bagi penguatan ketahanan pangan nasional.

Akhirnya, ketahanan pangan bukan saja merupakan komponen penting ketahanan nasional, melainkan juga aset bagi diplomasi. KTT Ketahanan Pangan pada 16-18 November mendatang di Roma perlu disikapi dengan serius sebagai satu wahana strategis untuk mengukuhkan profil dan meraih kepentingan Indonesia pada tataran global melalui tingkat partisipasi dan kualitas kontribusi substantif yang memadai.

Sumber: Gatra

Sabtu, Mei 08, 2010

Harga Lebih Murah, Tidak Berarti Lebih Rendah Gizi

Produk pangan yang diformulasi dengan biaya rendah atau didiskon besar-besaran ternyata tidak selamanya inferior dari segi gizi, bila dibandingkan dengan merek lain produk sejenis. Hal tersebut diungkapkan oleh hasil penelitian sebuah lembaga di Perancis, France’s Conseil National de L’alimentation (CNA) seperti yang dikutip dari foodnavigator.com. Lembaga tersebut mengungkapkan bahwa produk pangan dengan harga yang lebih rendah belum tentu mengandung nilai gizi yang lebih rendah pula.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghasilkan produk dengan harga terjangkau, tetapi tetap memiliki nilai gizi yang baik. Di antaranya dengan mengoptimalkan proses formulasi, menggunakan ingridien alternatif dengan harga yang tidak terlalu tinggi. Namun demikian, bukan berarti pemilihan tersebut harus mengorbankan faktor mutu dan keamanan.

Cara lainnya adalah dengan menggunakan kemasan yang lebih efisien. Saat ini banyak jenis kemasan ekonomis seperti sachet.

Dengan kondisi ekonomi yang terjadi saat ini, tidak aneh jika diperlukan inovasi termasuk dari segi marketing. Salah satunya dengan harga yang lebih murah atau memberikan diskon.

Rabu, Mei 05, 2010

ISU PANGAN NASIONAL - KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Saat ini ketahanan pangan nasional masih kurang tangguh. Hampir semua aspek penunjang
ketahanan pangan, masih dibelenggu oleh masalah. Mulai dari kebijakan yang belum bisa berjalan
secara konsisten, manajemen pangan yang sering kedodoran, sampai lemahnya antisipasi terhadap
bencana lingkungan, baik berupa musim kemarau panjang maupun banjir. Bilamana tidak dilakukan
langkah percepatan, dengan kondisi dan laju pembangunan seperti sekarang, maka dalam jangka
menengah, produksi padi akan mengalami defisit yang cukup signifikan.
Dari sisi kebijakan, pemerintah tampak masih gamang untuk menentukan pilihan, antara
menjalankan kebijakan “perlindungan” terhadap harga gabah/beras yang berhak diperoleh petani,
dengan pengadaan pangan murah yang dalam jangka pendek bisa diperoleh dari impor. Manajemen
pangan nasional juga masih belum mampu melakukan antisipasi secara optimal, terhadap fluktuasi
harga yang terjadi sejalan dengan siklus musim panen dan paceklik.
Berbagai instansi terkait dalam menjalankan kebijakan pangan pun, cenderung masih berjalan
sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang baik. Hal ini, misalnya, bisa dilihat dari data-data yang dilansir
setiap instansi, di mana satu sama lain seringkali berbeda, karena adanya perbedaan kepentingan.
Sudah sering muncul ke permukaan, misalnya, bagaimana Departemen Pertanian berselisih pendapat
dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dalam hal perdagangan hasil-hasil pertanian.
Pemberlakukan otonomi daerah, juga menimbulkan masalah baru dalam hal koordinasi.
Pemerintah Provinsi/Kabupaten, menunjukkan kecenderungan untuk berkonsentrasi mengurusi
kepentingan wilayahnya sendiri, terutama untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), dan
memandang tanggung jawab dalam mencapai target produksi untuk pemenuhan kebutuhan nasional,
sebagai beban semata.

Minggu, Mei 02, 2010

BULETIN HIMATIPAN # 1 Sudah terbit

Unduh ya teman-teman di

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More